Kamis, 25 Februari 2016


Sebenarnya tidak niat-niat amat nonton film ini dalam waktu dekat karena sedang doyan-doyannya nonton film indie, namun melihat film ini sangat hype dan juga memborong banyak penghargaan, saya sempatkan untuk nonton sebelum perhelatan Academy Awards 2016. Dan, Iñárritu gituloh, siapa juga yang gak mau nonton film nya Iñárritu? Atau setidaknya penasaran.

Jika dibandingkan dengan film Iñárritu sebelumnya yang juga sama gila nya, Birdman, film ini memang beda genre. Beda banget. Birdman dengan drama-satire nya, dan The Revenant dengan drama-survival-thriller nya. Tapi Iñárritu nya masih kental sekali. Dua film terakhirnya memperlihatkan bahwa Iñárritu memiliki filosofi yang kuat untuk setiap jengkal penggarapannya, dan seperti biasa, selalu mengintimidasi di setiap menitnya.


The Revenant merupakan kisah nyata yang adaptasi dari bagian novel The Revenant: A Novel Revenge karya Michael Punke yang coba divisualisasikan oleh Iñárritu bersama dengan co-writer nya Mark L. Smith dalam sebuah petualangan survival yang sangat apik. Which is I really love this genre. Survival. Cerita nyatanya berpusat pada kisah survival dari Hugh Glass (Leonardo Dicaprio) di era 1823 mantan tentara Amerika  yang ditinggalkan rekan-rekannya begitu saja setelah diserang beruang Grizzly. Namun, Iñárritu membuat versinya sendiri dengan lebih kompleks dan dramatis. Terlihat ia menambahkan beberapa fiksi seperti latar belakang Glass dan juga putra setengah Indiannya, bernama Hawk (Forrest Goodluck). Selain itu diceritakan bahwa Glass merupakan pemburu handal dan juga sangat menguasai medan. Keahliannya dibutuhkan oleh Kapten Andrew Henry (Domhall Gleeson), komandan ekspedisi perburuan kulit hewan yang pada saat itu juga sedang diburu oleh kaum Indian Arikara. Namun dalam perjalanan, Glass diserang oleh beruang Grizzly dan terluka sangat parah. Tidak ada yang menyangka bahwa Glass yang hampir mati itu dapat bertahan hidup dan berniat balas dendam kepada Fitzgerald (Tom Hardy) yang meninggalkannya begitu saja.

Di film ini Iñárritu kembali duet dengan sinematografer Emmanuel Lubezki yang mana mereka juga berduet di Birdman. Duet yang menurut saya berhasil karena mereka memang mengisi satu sama lain dengan hasil yang luar biasa apik. Lubezki memperlihatkan gambar-gambar alam yang menjadi latar tempat film ini dengan sangat breathtaking, dan juga Iñárritu mengisi gambar-gambar itu dengan situasi dan emosi dan juga membaurkan batasan antara penonton dan layar. Kita para penonton diajak untuk merasakan apa yang terjadi kepada Glass, dan lanskap hutan dan pegunungan bersalju membuat para penonton bisa merasakan dingin dan bekunya. Setiap detail digarap dengan sangat baik. Setiap daging tertusuk dan terkoyak dengan sangat menyakitkan, dan darah yang mengalir terlihat sangat kontras dengan salju yang menghampar di setiap jengkal tanah. Tidak jarang saya sendiri mengernyit melihat kebrutalan dan kengerian yang terjadi di film ini.


Sulit untuk tidak terpukau dengan akting Leonardo Dicaprio di film ini. Sekalipun saya bukan penggemar Leo, namun saya yakin tidak ada yang pernah melihat Leo berakting seperti dia berakting di The Revenant ini. Leo memperlihatkan kepada kita bagaimana sulitnya bertahan hidup di alam liar, bagaimana pedihnya, bagaimana dendamnya, bagaimana kesepiannya, dan kekhawatirannya sangat terasa nyata. Total. Alangkah jahatnya jika Leo tidak juga mendapat patung manusia kepala botak di perhelatan Academy Awards 2016 sebagai best actor. Serius, tahun ini Leo pantas mendapatkannya. No more ‘poor Leo’ meme!!!!

Namun tidak hanya Leonardo Dicaprio yang menurut saya sangat sukses dengan aktingnya di film ini. Tom Hardy yang memerankan Fitzgerald menurut saya cocok sekali mendapatkan penghargaan peran antagonis terbrengs—k tahun ini. Serius Tom Hardy di sini benar-benar bikin saya nyumpahin dia mulu sepanjang film. He’s so good! Selain Tom Hardy, jajaran aktor yang mengisi pun bukan main-main. Supporting actors yang menurut saya semuanya DA-BOOM! Domhall Gleeson (Stars Wars: The Force Awakens, About Time, Ex-Machina) yang juga tidak menyia-nyiakan porsinya di film ini. ada pula Will Poulter (The Maze Runner, We’re The Millers) yang berperan sebagai Jim Bridger. Dan saya cukup terkesan dengan akting Will yang semakin sini semakin matang dalam pendalaman karakter. Selain Domhall dan Will sebenarnya masih banyak aktor-aktor yang mendukung, namun karena banyak sekali aktor yang dilibatkan, akting mereka terlihat hanya sebagai pendukung dan ‘meramaikan’ saja.




Di departemen teknis, apalagi tentunya selain directing dan cinematography kalau bukan scoring. Tidak terlalu banyak yang mengganggu di film ini. Scoring dalam film ini seperti menyatu dengan semua element. Bahkan suara nafaspun sudah bercerita banyak. Tata rias dan kostum pun perlu diacungi jempol. All leathers, all furs are so damn heavy but great!!!

Film ini bukan hanya sekedar film survival atau film balas balas dendam, namun lebih dari itu, di film ini Iñárritu menaruh filosofis religius. Siklus yang dialami Glass merupakan siklus alamiah dari alam ini. Awal mulanya Glass merupakan pemburu beruang, dia hampir dibunuh beruang, dan menjadi beruang ketika dia ingin membalaskan dendam dan bahkan tidak takut mati. Namun pada akhirnya, manusia tidak berhak membalas dendam, hanya Tuhan yang berhak. 
[MOVIE REVIEW] The Revenant (2015): Torturing and Freezing
14.55.00

[MOVIE REVIEW] The Revenant (2015): Torturing and Freezing

Selasa, 23 Februari 2016


Satu lagi film yang dapat menggugah psikologi para penontonnya. Stanford Prison Experiment merupakan film indie yang pertama kali tayang di Sundace Film Festival 2015 lalu dan memenangkan Waldo Salt Screenwriting Award dan The Alfred Sloan Feature Film di festival tersebut.

Untuk menonton film ini, saya sengaja tidak membaca review ataupun sinopsis dari film ini. Saya ingin dikejutkan oleh ceritanya, dan juga oleh akting para aktor muda yang sedang naik daun seperti Ezra Miller (We Need To Talk About Kevin), Ki Hong Lee (The Maze Runner), Michael Angarano (Sky High), Moises Arias (Ender’s Game), Jack Kilmer (Palo Alto), dan masih banyak lagi. Saya juga tidak pernah tahu menahu apa itu Stanford Prison Experiment, yang ternyata merupakan kisah nyata dari eksperimen yang pernah dilakukan seorang profesor di Stanford University pada tahun 1971.


Film yang disutradarai Kyle Patrick Alvarez ini dibuka dengan screening dibuatnya iklan koran yang mengatakan: dibutuhkannya volunteer untuk sebuah percobaan dan setiap orang akan dibayar $15 per hari untuk menjadi tahanan atau menjadi sipir. Beberapa mahasiswa pun datang untuk interview dan tes kesehatan, mostly early 20, dinyatakan sehat secara fisik dan mental juga tidak pernah memiliki catatan kriminal. Namun para partisipan ini tidak diberitahu apakah mereka terpilih menjadi tahanan atau sipir. Bahkan yang terpilih menjadi tahanan ditangkap seperti the real criminal, tiba-tiba didatangi the real police dan dibawa ke Stanford County Prison yang sengaja dibuat di basement Fakultas Psikologi Stanford University.

Diperlihatkan yang menjadi tahanan semuanya diseragamkan, dan yang mengejutkan, para partisipan yang terpilih menjadi tahanan menggunakan dress tanpa memakai pakaian dalam, dan nama mereka diganti dengan angka. Disebutkan oleh sang profesor, Dr. Zimbardo (Billy Crudup), bahwa para tahanan di feminiskan. Dan para partisipan yang terpilih menjadi sipir diberi seragam lengkap dengan kacamata hitam dan juga nightstick. Penelitian yang dijadwalkan selama 14 hari dianggap para partisipan akan sangat membosankan. Namun di luar dugaan, setiap harinya bahkan setiap jam nya merupakan mimpi buruk bagi para ‘tahanan’. Tanpa mengetahui waktu, ditambah shift bergantian dari para sipir membuat para tahanan tidak mengetahui sudah berapa lama mereka di dalam penjara tersebut.


This movie really blow my mind, karena terlihat lama-kelamaan para mahasiswa ini masuk dalam karakter buatan yang dilekatkan kepada mereka, terutama para sipir. Para sipir terlihat semakin lama semakin agresif dan abusive secara mental maupun fisik. Salah satu sipir yang menamai dirinya John Wayne (Michael Angarano) dengan aksen Southern nya terlihat sangat mendalami karakter sebagai sipir dan dia terlihat yang paling abusive dari sipir-sipir lain. Para tahanan pun terlihat semakin tertekan dan bahkan tanpa sadar menganggap mereka sendiri memang sebagai tahanan. Diperlihatkan bagaimana beberapa tahanan menjadi berontak dan bahkan berencana kabur karena menurutnya percobaan tersebut tidak seperti percobaan seharusnya namun sudah seperti penjara betulan. Ezra Miller  sebagai tahanan 8612 merupakan tahanan yang paling berontak dan akhirnya berhasil kabur dari penjara tersebut.

Penelitian yang dijadwalkan berlangsung dua minggu tersebut akhirnya hanya berlangsung sekitar 4 hari karena terlihat bahwa para partisipan semakin tidak terkontrol dan juga adanya protes dari calon istri sang profesor yang melihat bahwa penelitian tersebut dapan membahayakan mental para partisipan.



Dalam film ini Alvarez berhasil memanfaatkan space yang terbatas untuk menangkap shot yang terlihat sangat rapi. Penggunaan close up para tahanan dan para sipir terasa memperlihatkan kengerian film ini secara psikologis. Efek klaustrofobia sangat kental dirasakan dalam ruangan sempit tersebut, tanpa diperlihatkan adanya jam untuk menunjukkan waktu, dengan 3 ruangan tahanan yang sempit, Alvarez seolah mengajak kita untuk juga merasakan apa yang akan terjadi, dan saya sangat terkejut ketika hanya ada pemberitahuan Day 1, Day 2 untuk memberitau penonton waktu penelitian tersebut. “Lha, itu tadi baru hari pertama?” merupakan komentar yang lumrah ketika nonton film ini. Karena terjadi kepada saya dan teman-teman saya yang juga nonton film ini. Satu hari berasa setahun mungkin berlaku di film ini.

Film ini menurut saya cukup berhasil memberikan kengerian tersendiri terhadap penelitian yang benar-benar diadakan oleh Dr. Zimbardo. Dengan menonton film ini kita diperlihatkan, bagaimana keadaan atau situasi dan pelabelan tertentu dapat merubah seseorang menjadi sangat, sangat jahat tanpa mereka sadari. Film ini bagus sangat bagus, kekurangannya hanya di bagian ending karena saya mengharapkan sesuatu yang thrilling, namun berakhir ‘gitu deh’. Namun, meskipun endingnya tak se- BANG! yang diharapkan, film ini bakal saya rekomendasikan kepada semua orang karena this is a good one! 
[MOVIE REVIEW] Stanford Prison Experiment (2015) : “Because I know what you can become. –Daniel Culp”
12.54.00

[MOVIE REVIEW] Stanford Prison Experiment (2015) : “Because I know what you can become. –Daniel Culp”

Minggu, 21 Februari 2016


Actually I have no idea ini sebenarnya film tentang apa at the first place.  Saya sendiri memilih film ini untuk ditonton karena cast nya Dakota Fanning dan Jeremy Irvine. Yes, they are ‘Hollywood’s darling’ dan saya memasrahkan diri pada film ini mau apapun ceritanya. Fanning always stand out di hampir semua filmnya yang pernah saya tonton, except Twilight Saga. Dan Jeremy Irvine, he’s… Hot! What? Gak ada salahnya kan nonton film karena cuma yang maennya cakep? Hehehe, because yes, I’m so clueless about this movie at the first place.

Film dibuka dengan lines dari Tessa (Dakota Fanning) about Moment.
Moments. This is one. This right here, right now, is definitely a moment…..Anything could happen next.”
Dari menit-menit pertama film ini menceritakan sesuatu tentang Tessa yang dengan rambut pixie dan kulit pucatnya ingin mencoba sex, yang tetapi gagal karena menurutnya tidak begitu seharusnya dirinya kehilangan keperawanannya.

Ini film tentang sex? Ofc no. Film ini menceritakan seorang Tessa Scott (Dakota Fanning) yang sedang sekarat karena mengidap Leukimia sudah empat tahun lamanya dan dirinya membuat list to do tentang hal-hal gila yang akan dilakukannya sebelum dirinya meninggal, namun tanpa sengaja Tessa ini bertemu dengan Adam (Jeremy Irvine) yang ternyata mereka pun saling mencintai. Tessa merasa jika Adam akan menyelamatkannya dari kematian.


Film ini diangkat dari novel berjudul ‘Before I Die’ karangan Jenny Downham. Sebenarnya kisah seperti ini telah beberapa kali dibuat ke bentuk film. Sebagian mencetak sukses, sebagian lagi bahkan gagal. Untuk film ini saya rasa masih di jalur yang aman-aman saja. Ada beberapa hal yang membuat film ini tidak biasa. Jangan bayangkan film ini akan sesendu A Walk to Remember yang terkenal dengan lagu Only Hope nya, dan juga bakalan seperti film The Fault in Our Star, karena ini enggak. Tessa di sini menjalani kehidupan tidak seperti anak pesakitan. Gak dilarang keluar-keluar dan bahkan teler ‘shrooms bersama temannya Zoey (Kaya Scodelario).

Tessa bukan dari keluarga sempurna yang mana ibu dan ayahnya selalu tau akan berbuat apa jika sesuatu hal terjadi. Tessa hanya tinggal bersama ayah dan adiknya, sedangkan sang ibu digambarkan tidak begitu memperhatikan keadaan Tessa. Kisah cinta yang memerlukan komitmen tidak main-main. Bagaimana bingungnya Adam (Jeremy Irvine) ketika menyukai Tess tetapi dirinya tidak dapat membayangkan sesuatu hal akan terjadi pada Tessa. Ya, he can’t handle it. Bagaimana clueless nya Adam ketika Tessa mimisan hebat gak berhenti-berhenti ketika mereka mau kencan. Adam was so human. Gak jadi pahlawan dan ujug-ujug menggendong Tessa ketika dirinya pingsan. Nope. Buang jauh-jauh pikiran fairy tale itu, karena film ini mendobrak hal-hal tersebut.


Mungkin bagi sebagian orang bakal menilai bahwa si Tessa ini kurang ajar atau tak tahu diuntung, tapi itu merupakan usaha Tessa untuk memproses ketakutannya akan kematian. Usahanya agar terlihat selalu tegar dan selow aja, walaupun sebenarnya dia pun sangat takut. Banyak momen menyentuh dalam film ini yang menguras air mata. Bahkan menurut saya, film ini memiliki ending yang luar biasa bagus.

Akting semua aktor pun cukup memuaskan walaupun tidak sempurna. Kelakuan Tessa di film ini bikin gemes kadang-kadang, tapi dengan gaya nya yang bandel menjadikan tokoh Tessa ini menarik. Jeremy Irvine, not at his good, tapi lumayan berhasil memerankan cowok clueless ketika dihadapkan dengan kenyataan dirinya menyukai seorang gadis yang umurnya tidak lama lagi.


Bagi yang menyukai film-film drama melankoli yang menguras air mata, film ini patut dijadikan salah satu hiburan di saat senggang. Namun bagi yang tidak suka, mungkin akan merasa bosan. Tapi bagi saya pribadi yang suka dengan segala jenis film, Now Is Good ini sangat, sangat menguras air mata. Jadi siapkan segala sesuatunya ketika akan menonton film ini.Pemilihan lagu-lagu dari M83, Lana Del Rey, Peter Broderick pun menjadi salah satu alasan film ini cukup menghibur menurut saya, walaupun ya, film dengan tema seperti ini selalu klise.
[MOVIE REVIEW] Now Is Good (2012) : "So, The Love Cure Still Working Its Magic?"
21.05.00

[MOVIE REVIEW] Now Is Good (2012) : "So, The Love Cure Still Working Its Magic?"


Pertama muter ini film saya sempet heran, ini yang salah player nya apa video nya? Kok rasio nya 1:1? Kayak instagram jaman dulu. Ah, ternyata fillm ini memang menggunakan rasio screen 1:1. Cukup membingungkan buat saya yang memang tidak terbiasa nonton dengan rasio 1:1. Namun, mungkin di situ lah uniknya dan nanti juga bakal tau kenapa nya setelah nonton film ini.

Lagi-lagi Xavier Dolan. Iya, saya lagi penasaran penasarannya sama sutradara muda satu ini. Usianya boleh baru 26 tahun, tapi film-film nya, terutama dua film yang saya tonton (satunya Tom At The Farm) memperlihatkan kualitas sutradara asal Quebec, Kanada ini. Dan di film keduanya yang saya tonton ini, Dolan bener-bener mencuri hati, dan film ini bakal menjadi film Dolan favorit saya sepertinya. Seperti judulnya, Mommy berkisah tentang seorang ibu berstatus single parent bernama Diane (Anne Dorval) yang harus merawat puteranya yang berusia 16 tahun dan mengidap ADHD, Steve (Antoine-Olivier Pilon). Steve memang sangat sulit diatur. Dia tidak bisa diam, emosinya naik-turun, bahkan sering berbuat tindak kekerasan termasuk menciptakan kebakaran di asrama sehingga pihak asrama sudah tidak sanggup lagi. Diane meminta tetangga sebrang rumahnya, Kyla (Zuzanne Clement) untuk membantunya membimbing Steve dalam hal akademik. Dan disepanjang film diperlihatkan bagaimana Diane, Steve, dan Kyla ini menjadi sangat dekat, like a squad.




Keadaan pas-pasan, dan juga harus mengurus Steve yang mungkin tidaklah mudah bagi seorang Diane seperti memberikan kesan klaustrofobia kedalam film tersebut. Rasa sesak, terbatas, penuh dengan ketakutan dan kekhawatiran menjadi sangat terasa sangat kental apalagi di dukung dengan rasio layar 1:1 yang dihadirkan oleh Dolan. Jenius. Film ini seperti rollercoaster, membawa emosi penontonnya naik-turun. Mengguncang dan menegangkan, tapi juga ada beberapa hal yang lucu di film ini. Beberapa hal yang ringan dan menggembirakan dipindahkan ke rasio layar yang lebih besar sehingga tidak terasa begitu menyesakan. Sungguh luar biasa Dolan ini, entah saya harus bilang apa lagi.

Di film ini, saya masih melihat bahwa Dolan masih berfokus kepada karakter dalam film. Semua karakter dimainkan sangat apik. Namun cerita dalam film ini juga sangat memikat. Anne Dorval benar-benar bisa membawa karakter dengan luar biasa, bagaimana menjadi Ibu yang sangat, sangat ingin melindungi anaknya, namun Dolan tidak membuat film ini menjadi melankolis cengeng yang membuat penonton nangis sepanjang film. This movie beyond that. Diane diperlihatkan bukanlah ibu kebanyakan yang menjadi panutan semua orang. Berbicara kasar, merokok, membentak, bahkan tidak sungkan untuk merayu atasannya untuk mendapat pekerjaan. Saling bentak dengan bahasa kasar pun terlihat antara Steve dan Diane. Bahkan di satu scene terlihat, Steve mencekik sang ibu yang dibalas sang ibu dengan memukulkan sebuah pigura pada kepala Steve. Sekilas nampak seperti hubungan yang merusak, tapi rasa sayang serta keterikatan keduanya justru bisa melebihi hubungan ibu-anak yang kita selalu anggap normal. Saling berkorban antara satu sama lain, memberi sentuhan kehangatan pada dramanya. Itulah yang saya rasa tidak bisa digambarkan tentang film ini. Indescribable movie.


Perasaan pedih dan hangat bergantian saya rasakan melihat dinamika antara Steve-Diane. Mereka saling memaki dengan bahasa kasar, namun terlihat bahwa mereka sangat menyayangi satu sama lain. Adegan di mana Steve dengan segala kekurangannya sangat ingin melindungi sang ibu sangatlah menyentuh. Tersirat pula Dolan sepertinya ingin memperlihatkan Oedipus Complex pada sosok Steve. Terlihat dari keintiman antara Steve dan sang ibu, dari tarian bahkan ciuman. Mungkin Dolan ingin memperlihatkan rumitnya hubungan ibu-anak ini, namun meyakinkan juga bahwa ibu dan anak ini saling menyayangi. Kehadiran Kyla juga membuat hubungan antar karakter semakin dinamis. Kyla sangat tertutup, Steve sangat terbuka, dan Diane seperti jembatan penghubung antara Kyla dan Steve. Kombinasi ketiganya sangat menarik, masing-masing memiliki masalah, namun mereka seperti menemukan kebahagiaan ketika bersama.



Film ini merupakan film kelima Xavier Dolan di umurnya yang baru 26 tahun. Pada film ini Dolan berhasil merangkum emosi dan cerita yang utuh dan juga memorable, juga sangat kuat secara tema. Twist yang juga sebenarnya gak saya harapkan tapi ternyata, rasanya seperti menohok. Saya sangat suka penggarapannya, penggunaan rasio 1:1, dan juga pemilihan lagu-lagu popular dari musisi-musisi popular seperti Oasis dan Lana Del Rey. Mommy memperlihatkan drama tekanan hidup tanpa digambarkan secara melankolis.  Standing Ovation for Dolan. Fix, Xavier Dolan jadi salah satu sutradara favorit saya. 
[MOVIE REVIEW] Mommy(2014) : Indescribable Mom and Son Movie
15.30.00

[MOVIE REVIEW] Mommy(2014) : Indescribable Mom and Son Movie

Sabtu, 20 Februari 2016




Okay, let’s start to talk about this movie.

(Pertama ketika akan meriview film ini aku sempet bingung, mau menceritakan darimana dan apa yang mesti diceritakan. Film ini terlalu menguras emosi dan pikiran sampe aku gak tau mau mulai darimana.)

Film Tom At The Farm merupakan film Xavier Dolan pertama yang aku tonton. Salah satu sutradara slash aktor asal Quebec, Kanada, dan cukup diperhitungkan di ranah perfilman indie. Sempet beberapa kali denger nama Xavier Dolan ini, tapi baru kali ini aku memberanikan diri digging about him. Dan film ini merupakan salah satu film yang banyak direkomendasikan untuk ditonton bagi yang gak familiar dengan sang sutradara, bahkan Peter Bradshaw dari The Guardian pun merekomendasikan film ini. Dan begitu ditonton, memang film ini, sesuatu.

Film ini bercerita tentang Tom (Xavier Dolan) yang datang dari Montreal untuk menghadiri pemakaman pacarnya, seorang pemuda bernama Guillaume. Tujuan Tom adalah sebuah peternakan dan perkebunan di daerah yang terpencil dan sepi. Begitu sampai di rumah kelurga sang pacar, ternyata ibu dari sang pacar, Agathe (Lise Roy), tidak tahu menahu tentang siapa si Tom ini dan tidak juga mengetahui bahwa sang anak adalah seorang gay.


Ternyata ibu si pacar tidaklah tinggal sendiri, Agathe tinggal bersama anak tertuanya, Francis (Pierre-Yves Cardinal) yang lagi-lagi Tom juga tidak tahu-menahu jika si pacar punya kakak. Francis yang mengetahui adiknya merupakan seorang gay berusaha dengan segala cara menyembunyikan kenyataan itu kepada ibunya, hingga berbohong bahwa sang adik memiliki pacar perempuan, dan Tom diancam untuk tidak sekali-sekali membuka mulut kepada ibunya jika dirinyalah yang merupakan pacar sang anak. Tom pun menjalankan aktingnya sebagai ‘bukan pacar’ dibawah tekanan Francis.

Hal aneh mulai terjadi ketika Tom bahkan tidak segera pergi dari farmhouse itu dan bahkan lebih memilih stay. Dia seolah-olah terhipnotis dengan keanehan keadaan keluarga tersebut, dan sepertinya emosi mulai terbangun dari Tom kepada Francis sebagai pengganti sang pacar. Satu-satunya adegan yang memperlihatkan Tom frustasi kehilangan sang pacar adalah ketika Tom sendirian di dalam mobil setelah pemakaman namun setelah itu Tom terlihat baik-baik saja. Semakin hari Agathe terlihat semakin kasar, dan Francis terlihat semakin mengintimidasi. Francis bahkan memukuli Tom, namun di kemudian hari Francis merawat luka Tom akibat terkena batang jagung. Ada satu momen dimana Francis meludahi mulut Tom, tapi di kemudian hari Francis mengajari Tom cara memerah susu sapi. Ada scene dimana Francis memberitahu Tom jika dia pernah belajar dansa, dan di situlah adegan yang haunting terjadi ketika Tom dan Francis dansa dengan sangat, duh lumayan sulit menjelaskannya ya sebenarnya, tapi terlihat Francis seperti sengaja membawa Tom ke suatu suasana yang romantis tapi mengintimidasi. Intens.


Di sini mungkin Dolan ingin memperlihatkan bagaimana potret stockholm syndrome. Tom dan Francis membenci satu sama lain itu terlihat, tapi mereka juga terlihat ingin bersama satu sama lain juga, flirting, ngamuk. Tom is a submissive to Francis. Terlihat jika Francis menikmati dengan menyiksa Tom, dan Tom menikmati disiksa Francis. Francis tidak membiarkan Tom pergi secara psikis, padahal Tom bisa aja pergi gitu aja kok dia gak diiket di suatu tempat tertutup tapi Francis bisa membuat Tom tinggal, as he pleased, tanpa paksaan. Francis merupakan seorang homophobic, kasar, bisa menghajar siapapun yang bilang kalau adiknya gay, tapi Tom selalu dying to be punched, or kissed, or marked in some way. Itu yang terlihat dari inti cerita yang sepertinya ingin diperlihatkan Dolan.

Dolan berhasil mempertahankan atmosfer mencekam di setiap scene nya. Aku bahkan deg-degan sepanjang film padahal di dalam film ini tak begitu terlihat secara eksplisit kesadisannya, tapi scene yang dark dan haunting dibalut scoring yang disturbing bikin aku yang nonton deg-degan sepanjang film. Luar biasa. Score dari Gabriel Yared  merupakan salah satu yang mendukung atmosfer film -selain akting para aktor yang fascinating- membangun energi mencekam. Sangat intens. Memperlihatkan emosi setiap pemain dan juga bakal bikin kamu deg-degan sepanjang film. Serius deh.



Keseluruhan film menurutku luar biasa dibangun dengan apik walaupun aku agak terganggu dengan kehadiaran Sarah (Evelyne Brochu) yang diceritakan sebagai ‘pacar bikinan’ yang juga teman kerja Tom. Kehadiran Sarah seperti tidak menyatu dengan film, terlihat seperti cerita tempelan. Mungkin akan bagus jika Sarah dihadirkan tidak di penghujung film sehingga ceritanya tidak hanya numpang lewat meng ’kalemkan’ Agathe agar percaya jika sang anak mempunyai pacar perempuan. Tapi ya diluar ketidaksempurnaannya, film ini sangat luar biasa buat aku, dan Dolan baru berumur 23 tahun ketika mendirect film ini. Mungkin itu juga kali ya yang membuat dia diperhitungkan di jagat perfilman indie. Okay, sepertinya aku mulai mencari film-film Dolan yang lain~~~
[MOVIE REVIEW] Tom At The Farm (2014) : A Haunting Psychosexual-thriller
11.57.00

[MOVIE REVIEW] Tom At The Farm (2014) : A Haunting Psychosexual-thriller