Film horror merupakan salah satu genre film yang cukup
banyak peminatnya. Kebanyakan penikmat film horror senang dengan adegan-adegan
menegangkan yang bisa membuat deg-degan hingga berteriak-teriak. Namun banyaknya
film horror dengan kengerian artificial terkadang tidak menempatkan film horror
dalam artian sesungguhnya. Memang tidak ada salahnya menggoda hingga
menakut-nakuti penonton dengan adegan-adegan yang membuat para penonton terkaget
dan berteriak, namun ada dua hal yang juga wajib dilakukan oleh film horror: Haunting and disturbing. Yap, menghantui
dan mengganggu adalah dua hal wajib yang harusnya dilakukan film horror. Bukan
hanya ketika sedang menonton, namun juga setelah berpisah dengan film tersebut.
Sejak franchise Final
Destination, menurut saya tidak ada lagi film horror yang dapat mengganggu
sedemikian rupa di kehidupan nyata. Teringat bagaimana ketika paranoidnya saya
melihat truk besar, ataupun hanya sekedar melihat tiang listrik. Ya, film
horror harus mengganggu seperti itu. Namun, sepertinya film-film horror yang haunting
and disturbing mulai terasa geliatnya. Sejak menonton It Follows (2015),
terlihat bahwa film horror mancanegara mulai beralih ke arah yang baru. Tidak
hanya mengandalkan jump scare, namun juga premis yang original dan unik, juga
sinematografi yang sangat artistik, tidak lupa juga, unsur hunting and
disturbingnya.
Begitupula yang saya rasakan dengan film The VVitch: A New
England Folktale (dibaca The Witch) yang menjadi angin baru bagi genre horror
luar. Berlatar di New England Colonial abad 16, karena dianggap menganut keyakinan
yang berbeda dari yang ada, William (Ralph Ineson) diusir dari perkampungannya
bersama istrinya Katherine (Katie Dickie), anaknya Thomasin (Anna Taylor-Joy),
Caleb (Harvey Scrimshaw), dan si kembar Mercy (Ellie Graingner) dan Jonas
(Lucas Dawson). Tanpa meninggalkan keyakinannya, keluarga ini pun mendirikan
pondok dan ladang di lahan yang berada tepat bersebelahan dengan hutan. Anggota
keluarga pun bertambah dengan hadirnya kelahiran putra kelima bernama Samuel.
Suatu ketika Thomasin sang anak sulung bermain peek-a-boo bersama Samuel di
tepi hutan, namun naas, ketika sang kakak membuka mata, sang adik telah
menghilang. Menghilangnya Samuel menjadi awal keanehan yang semakin hari
semakin mengganggu, mulai dari hasil pertanian mereka yang membusuk dan mengering,
hingga mati nya ternak-ternak. Gangguan tersebut tidak lain dan tidak bukan
ternyata berasal dari seorang penyihir yang tinggal di hutan.
Hanya satu kata yang menurut saya pantas untuk film ini ketika
selesai menontonnya. Briliant! 93 menit durasi film berhasil dimanfaatkan oleh
Robert Eggers dengan sangat baik. Untuk film debut, Eggers sungguh luar biasa. Tempo yang dibangun sangat konsisten tanpa ada ketimpangan jarak
yang besar, sehingga penonton dapat menikmatinya dengan baik. Ketegangan yang
dibangun selama film berlangsung pun tidak terlalu berlebihan, namun unsur
disturbing tetap ditingkatkan dari menit ke menit sehingga membuat penonton
selalu diliputi rasa ambigu dan penasaran terhadap apa yang sebenarnya terjadi.
Formula yang dimiliki The VVitch tidak datang dari
adegan-adegan yang membuat jump scare, namun sajian The VVitch terasa sangat
renyah bagi pencinta film horror. Penonton tidak selalu diajak berwaspada ria
akan kemunculan karakter di adegan selanjutnya, namun film ini memberikan penontonnya
sajian dengan konsep apa yang tak terlihat lebih mengerikan dari yang kamu
lihat. Hal ini yang mengganggu penonton karena dengan tempo yang lambat, penonton
dibuat tidak nyaman dengan sinematografi depression
athmosphere-nya Jarin Blaschke dibalut dengan scoring yang juga sama mengganggunya gubahan Mark Korven. Selain
itu shot-shot long take medium close up, low angle dan simetris, juga latar
ladang yang terletak di tepi hutan membuat kesan mengerikan dan kesan klaustrofobik
sukses dipertahankan dari awal hingga akhir film dengan sangat kental.
Sebenarnya yang menarik dari The VVitch adalah bagaimana
Eggers mengangkat salah satu gagasan yang paling mendasar bagi setiap manusia,
yaitu kepercayaan. Bagaimana suatu keluarga yang selalu taat terhadap Tuhan
akhirnya paranoid, putus asa, menyesal, saling menuduh, hingga kekacauan batin
yang akhirnya memecah belah keluarga ini.
Tentu cerita yang briliant tidak mungkin berhasil tanpa
performa casts yang baik. Karakter-karakter tampil bermain dengan sangat apik. Kemampuan
para casts dalam mengajak penonton ke dalam cerita sungguh sangat memikat. Sang
Ayah yang diperankan oleh Ralph Ineson sungguh meyakinkan kita semua tentang
tetap berpegang teguh kepada Tuhan, apapun yang terjadi. Namun karakternya juga
memperlihatkan betapa bingungnya terhadap apa yang terjadi kepada keluarganya.
Performa Ralph Ineson sangat luar biasa menurut saya. Semua ekspresinya
terlihat sangat pas. Anya Taylor-Joy pemeran Thomasin sang anak sulung juga bermain
sangat meyakinkan. Pembawaanya yang tenang namun penuh tanya ini membuat
penonton menebak-nebak siapa dan bagaimana sebenarnya Thomasin ini. Karakter
yang lain pun saling melengkapi dan terlihat tidak ada yang timpang. Karakter
si kembar Mercy dan Jonas yang terlihat cukup mengganggu dengan kelakuannya
juga keakrabannya dengan kambing hitamnya yang cukup creepy. Bisa dibilang semua
casts bermain dengan sangat apik, hampir tanpa cela.
Overall The VVitch merupakan film horror klasik artistik dengan
cerita yang briliant dan provoking juga didukung performa casts yang apik. Tidak
hanya menaikan ketegangan, namun film ini akan
meninggalkan kesan disturbing kepada penontonnya dengan cara yang indah dan
memikat. Bagi yang menggemari horror jump scare, mungkin The VVitch bukan film
yang tepat, namun tidak ada salahnya menonton film horror dengan rasa seni yang
tinggi sekali-sekali.
[MOVIE REVIEW] The VVitch (2016): "Wouldst thou like to live deliciously?"
21.36.00