[MOVIE REVIEW] The Revenant (2015): Torturing and Freezing
Sebenarnya tidak niat-niat amat
nonton film ini dalam waktu dekat karena sedang doyan-doyannya nonton film
indie, namun melihat film ini sangat hype dan juga memborong banyak
penghargaan, saya sempatkan untuk nonton sebelum perhelatan Academy Awards
2016. Dan, Iñárritu gituloh, siapa juga yang gak mau nonton film nya Iñárritu? Atau
setidaknya penasaran.
Jika dibandingkan dengan film Iñárritu
sebelumnya yang juga sama gila nya, Birdman, film ini memang beda genre. Beda
banget. Birdman dengan drama-satire nya, dan The Revenant dengan drama-survival-thriller
nya. Tapi Iñárritu nya masih kental sekali. Dua film terakhirnya memperlihatkan
bahwa Iñárritu memiliki filosofi yang kuat untuk setiap jengkal penggarapannya,
dan seperti biasa, selalu mengintimidasi di setiap menitnya.
The Revenant merupakan kisah
nyata yang adaptasi dari bagian novel The Revenant: A Novel Revenge karya
Michael Punke yang coba divisualisasikan oleh Iñárritu bersama dengan co-writer
nya Mark L. Smith dalam sebuah petualangan survival yang sangat apik. Which is
I really love this genre. Survival. Cerita nyatanya berpusat pada kisah
survival dari Hugh Glass (Leonardo Dicaprio) di era 1823 mantan tentara Amerika
yang ditinggalkan rekan-rekannya begitu
saja setelah diserang beruang Grizzly. Namun, Iñárritu membuat versinya sendiri
dengan lebih kompleks dan dramatis. Terlihat ia menambahkan beberapa fiksi
seperti latar belakang Glass dan juga putra setengah Indiannya, bernama Hawk
(Forrest Goodluck). Selain itu diceritakan bahwa Glass merupakan pemburu handal
dan juga sangat menguasai medan. Keahliannya dibutuhkan oleh Kapten Andrew
Henry (Domhall Gleeson), komandan ekspedisi perburuan kulit hewan yang pada
saat itu juga sedang diburu oleh kaum Indian Arikara. Namun dalam perjalanan,
Glass diserang oleh beruang Grizzly dan terluka sangat parah. Tidak ada yang
menyangka bahwa Glass yang hampir mati itu dapat bertahan hidup dan berniat
balas dendam kepada Fitzgerald (Tom Hardy) yang meninggalkannya begitu saja.
Di film ini Iñárritu kembali duet
dengan sinematografer Emmanuel Lubezki yang mana mereka juga berduet di
Birdman. Duet yang menurut saya berhasil karena mereka memang mengisi satu sama
lain dengan hasil yang luar biasa apik. Lubezki memperlihatkan gambar-gambar
alam yang menjadi latar tempat film ini dengan sangat breathtaking, dan juga Iñárritu mengisi
gambar-gambar itu dengan situasi dan emosi dan juga membaurkan batasan antara
penonton dan layar. Kita para penonton diajak untuk merasakan apa yang terjadi
kepada Glass, dan lanskap hutan dan pegunungan bersalju membuat para penonton
bisa merasakan dingin dan bekunya. Setiap detail digarap dengan sangat baik.
Setiap daging tertusuk dan terkoyak dengan sangat menyakitkan, dan darah yang
mengalir terlihat sangat kontras dengan salju yang menghampar di setiap jengkal
tanah. Tidak jarang saya sendiri mengernyit melihat kebrutalan dan kengerian
yang terjadi di film ini.
Sulit untuk tidak terpukau dengan
akting Leonardo Dicaprio di film ini. Sekalipun saya bukan penggemar Leo,
namun saya yakin tidak ada yang pernah melihat Leo berakting seperti dia
berakting di The Revenant ini. Leo memperlihatkan kepada kita bagaimana sulitnya
bertahan hidup di alam liar, bagaimana pedihnya, bagaimana dendamnya, bagaimana
kesepiannya, dan kekhawatirannya sangat terasa nyata. Total. Alangkah jahatnya
jika Leo tidak juga mendapat patung manusia kepala botak di perhelatan Academy
Awards 2016 sebagai best actor. Serius, tahun ini Leo pantas mendapatkannya. No
more ‘poor Leo’ meme!!!!
Namun tidak hanya Leonardo
Dicaprio yang menurut saya sangat sukses dengan aktingnya di film ini. Tom
Hardy yang memerankan Fitzgerald menurut saya cocok sekali mendapatkan
penghargaan peran antagonis terbrengs—k tahun ini. Serius Tom Hardy di sini
benar-benar bikin saya nyumpahin dia mulu sepanjang film. He’s so good! Selain
Tom Hardy, jajaran aktor yang mengisi pun bukan main-main. Supporting actors
yang menurut saya semuanya DA-BOOM! Domhall Gleeson (Stars Wars: The Force
Awakens, About Time, Ex-Machina) yang juga tidak menyia-nyiakan porsinya di
film ini. ada pula Will Poulter (The Maze Runner, We’re The Millers) yang
berperan sebagai Jim Bridger. Dan saya cukup terkesan dengan akting Will yang
semakin sini semakin matang dalam pendalaman karakter. Selain Domhall dan Will
sebenarnya masih banyak aktor-aktor yang mendukung, namun karena banyak sekali
aktor yang dilibatkan, akting mereka terlihat hanya sebagai pendukung dan ‘meramaikan’
saja.
Di departemen teknis, apalagi
tentunya selain directing dan cinematography kalau bukan scoring. Tidak terlalu
banyak yang mengganggu di film ini. Scoring dalam film ini seperti menyatu
dengan semua element. Bahkan suara nafaspun sudah bercerita banyak. Tata rias
dan kostum pun perlu diacungi jempol. All leathers, all furs are so damn heavy
but great!!!
Film ini bukan hanya sekedar film
survival atau film balas balas dendam, namun lebih dari itu, di film ini Iñárritu
menaruh filosofis religius. Siklus yang dialami Glass merupakan siklus alamiah
dari alam ini. Awal mulanya Glass merupakan pemburu beruang, dia hampir dibunuh
beruang, dan menjadi beruang ketika dia ingin membalaskan dendam dan bahkan
tidak takut mati. Namun pada akhirnya, manusia tidak berhak membalas dendam,
hanya Tuhan yang berhak.
0 komentar:
Posting Komentar