[MOVIE REVIEW] The Art Of Getting By (2011): “We live alone. We die alone, and everything else is just an illusion.” - George Zinavoy
“Since the dawn of recorded history, something like 110 billion human beings have been born into this world. And not a single one of them made it. There are 6.8 billion people on the planet. Roughly 60 million of them die every year. 60 million people. That comes out to about 160,000 per day. I read this quote once when I was a kid, “We live alone, we die alone. Everything else is just an illusion. ” It used to keep me up at night. We all die alone. So, why am I supposed to spend my life working, sweating, struggling? For an illusion? Because no amount of friends, no girl, no assignments about conjugating the pluperfect or determining the square root of the hypotenuse is gonna help me avoid my fate. I have better things to do with my time.”
Merupakan
monolog pembuka yang menjadi titik awal dalam film ini dimana sang tokoh utama,
George Zinavoy (Freddie Highmore)
seorang remaja tahun terakhir SMA yang biasa saja namun memiliki bakat seni ini
merasa bahwa memang hidup ini ya cuma numpang lewat, sehingga dirinya tidak mau
repot-repot melakukan sesuatu dan berusaha setidaknya mengerjakan PR karena
menurutnya itu semua merupakan pekerjaan yang sia-sia.
George selalu bersikap acuh tak
acuh terhadap lingkungan sekitarnya dan dianggap aneh oleh teman-temannya.
Hingga suatu hari George tidak sengaja bertemu dengan Sally Howe (Emma Roberts) teman seangkatannya dan
perkenalannya itu membuat George menjadi sedikit lebih peduli dan juga membuka
diri terhadap orang lain, terutama Sally.
Plot film ini sebenarnya sekilas
mirip dengan drama percintaan remaja lainnya, namun yang menjadi daya tarik film
ini adalah hubungan antara George dan Sally yang sebenarnya bukan inti cerita
dari film ini. Gavin Wiesen sebagai
sutradara menyampaikan secara tersirat bahwa film ini menceritakan remaja yang
sedang mencari jati diri, khususnya dalam hal ini George Zinavoy. Dimana
kehidupan George memang rumit. Bermasalah dengan sekolah karena perilakunya yang
acuh tidak acuh, permasalahan dengan ayah tirinya, hingga kehadiran Dustin (Michael Angarano) yang harusnya datang sebagai
pembimbing George dalam bakatnya, namun berakhir menjadi ‘perusak’ hubungan dirinya
dengan Sally.
Film ini memang tidak begitu
sempurna, namun cukup untuk membuat saya menontonnya berulang kali ketika
senggang. Tokoh George menjadi favorit saya karena kadang terlihat
menjengkelkan namun juga lovable. Freddie
Highmore memerankan tokoh George dengan sangat apik. Saya memang tidak
ragu, karena saya mengikuti film-film Freddie
Highmore sedari dirinya kecil. Freddie
selalu bermain dengan sangat baik, walaupun kebanyakan karakter yang dimainkan
selalu ‘Freddie Highmore banget’. Selain itu, tokoh George diperlihatkan
memiliki bakat menggambar/doodling dengan
gaya surrealis. Mungkin karena saya
suka juga menggambar, jadi saya selalu merasa punya hubungan batin dengan tokoh
yang juga bisa menggambar (Makanya film
ini salah satu film favorit saya ) :D :D :D
Emma Roberts sebagai Sally juga bermain dengan baik, walaupun tidak
begitu memukau. Masih bagusan aktingnya di Scream
4 kalau menurut saya. Dari awal film, Emma
berakting ya begitu-begitu aja, tidak menunjukan pengembangan karakter yang
diharapkan. Namun walaupun begitu, chemistry
yang dibangun antara Freddie dan Emma terlihat lumayan baik. A good awkward. Mungkin karena Freddie Highmore berakting dengan apik
dan sangat mendalami karakter sehingga bisa membangun chemistry dengan baik. Michael
Angarano yang juga berakting cukup baik dan justru mencuri perhatian. Dustin
menjadi karakter yang saya sebelin di film ini karena menurut saya mengganggu
hubungan baik antara Sally dan George walaupun bukan salahnya juga.
Selain dari departemen akting,
yang selalu menjadi favorit di film ini adalah score dan lagu-lagu nya. Alec
Puro pastinya mendapatkan poin lebih dari saya. Score maupun lagu-lagu yang dipilih untuk film ini sangat terasa
pas dan sebagian memang lagu-lagu favorit saya. Pemilihan lagu-lagu seperti We Will Become Silhouette dari The Shins, We Drink On The Job nya Earlimart,
Sleep The Clock Around dari Mates of State, hingga This Momentary dari Delphic terasa sangat pas dengan ritme dan tone film ini. Juga terasa sangat homey dan aroma remaja sangat terasa kental.
Secara keseluruhan, usaha Gavin Wiesen dalam film ini saya anggap
berhasil. Film ini ringan dan sangat menghibur . Selain itu The Art Of Getting By mengandung pesan
moral terutama tentang motivasi hidup. Sangat cocok bagi para remaja yang juga
merasa sedang mencari jati diri seperti George Zinavoy.
0 komentar:
Posting Komentar