[MOVIE REVIEW] Spotlight (2015): Attracted Without Gimmick
Di awal tahun 2002, publik sempat
dikejutkan dengan headline sebuah koran
di Amerika, The Boston Globe, dimana
memuat tulisan berjudul “Church allowed
abuse by priest for years”. Tentu saja headline
tersebut membuat heboh seantero Amerika dan dunia hingga karya investigasi
tersebut dianugrahi Pulitzer Prize,
penghargaan bergengsi bagi karya jurnalistik dan literatur. Topik ini menjadi topik
yang paling diperbincangkan saat itu, selain kejadian 9/11.
Kasus yang menghebohkan ini yang
menjadi materi dalam film Spotlight arahan
sutradara Tom McCarthy dengan skrip
yang ditulis juga olehnya bersama Josh
Singer. Spotlight menceritakan
kisah sekelompok jurnalis investigasi yang tergabung dalam rubrik Spotlight dalam membongkar pelecehan
seksual di lingkungan gereja Katolik di Kota Boston, Massachusetts, Amerika
Serikat.
Tim Spotlight yang beranggotakan Walter Robby (Michael Keaton) sebagai editor, Michael Rezendes (Mark Ruffalo), Matt Carol (Brian d’Arcy James), serta Sacha
Pfeiffer (Rachel McAdams) yang
masing-masing bertugas sebagai jurnalis. Dipimpin oleh kepala redaksi Marty
Baron (Liev Schreiber) berupaya
menggali lebih dalam kasus yang diawali oleh pelecehan seksual yang dilakukan oleh
pendeta bernama John Geoghan. Yang menjadikan kasus ini menarik adalah ternyata
otoritas gereja terkesan memperbolehkan hal ini terjadi di lingkungan gereja,
dan juga pihak berwajib menutup-nutupi hal ini secara sistematis, tanpa adanya
proses penyelesaian secara hukum.
Isu ini tentu saja sangat sensitif
dan kontroversial, sehingga banyak tantangan yang dihadapi tim Spotlight dalam mencari bukti-bukti
tentang kasus ini. Tak semua narasumber mau menceritakan apa yang sebenarnya
terjadi, walaupun hal tersebut merupakan sebuah bentuk kriminalitas. Penyeledikan
pun terus dilakukan hingga diarahkan ke berbagai sudut pandang. Mulai dari
sudut pandang hukum, sdari sudut pandan pelaku, hingga korban. Kasus yang
mencuat sungguh mencengangkan dan diistilahkan seperti fenomena gunung es.
Memang tidak banyak gimmick ataupun element yang WOW secara
teknis di film ini, namun keunggulan film ini hingga memenangkan best picture di Academy Awards 2016 karena kekuatan cerita yang sangat luar biasa. Angka
yang sangat mencengangkan dalam kasus ini dipaparkan secara eksplisit. Yang
lebih horror, ternyata hal ini tidak
hanya terjadi di Boston, namun kasus yang sama mulai terkuak di beberapa negara
bagian Amerika yang lain.
Spotlight membahas isu yang sangat sensitif dari beberapa aspek.
Bukan hanya menyoroti kasus pelecehan seksual oleh lembaga agama tertua di
dunia ini, namun juga menyoroti adanya ketidakterbukaan pihak berwajib, isu
tekanan sosial dan moral, krisis kepercayaan terhadap agama, dan juga menyinggung
bisnis media massa. Dan semuanya dipaparkan secara pas tanpa mengganggu cerita
inti yaitu pembongkaran sebuah skandal besar.
Film ini sangat menguras emosi,
apalagi banyak scene yang heartbreaking. Diantaranya ketika Sacha
mewawancarai seorang pendeta yang menjadi tersangka. Sang pendeta mengaku
dirinya melakukan, dan yang lebih mencengankan dirinya pun mengaku bahwa
dulunya dirinya menjadi korban. Sungguh sangat memilukan, apalagi setelah itu
Sacha melihat sekumpulan anak-anak yang sedang bersepeda dengan riangnya.
Yang juga menjadi pembelajaran
dalam film ini adalah film dituturkan dengan gaya jurnalis memaparkan sesuatu.
Fokus pada tujuan pembongkaran kasus dalam institusi, tanpa mempertanyakan
keyakinan para tersangka dan menyerangnya. Plot berjalan sesuai dengan
bagaimana para jurnalis ini bekerja tanpa banyak bumbu-bumbu lain dari
kehidupan setiap jurnalis. Tidak ada drama yang tidak perlu, fokus pada kasus dan berhasil memukau di akhir.
Spotlight menjadi salah satu film yang memperlihatkan dimana
jurnalis menjadi fungsi yang sebenarnya. Memberitakan kebenaran, menjadi media untuk
para orang tertindas. Sungguh film yang sangat menginspirasi, terutama bagi
banyak media massa yang tidak jarang bimbang dan dilema ketika harus
memberitakan sebuah kebenaran namun banyaknya tekanan dari sana-sini yang membuat
media tidak lagi idealis, tidak lagi independen hanya demi kepentingan beberapa
pihak.
0 komentar:
Posting Komentar